Tidak hanya itu. Bank asing seperti ANZ (Australia), Standard Chartered Bank, HSBC, Barclays yang berasal dari Inggris, Rabobank (Belanda), Texas Pacific dan Mercy Corp (Amerika), ICBC (China), State Bank of India (India), Tokyo Mitsubishi (Jepang) dan IFC (Korea Selatan) adalah beberapa bank asing dengan kepemilikan saham terbesar di beberapa perbankan Nasional.
Tidak Ketinggalan juga industri perbankan syariah di tanah air akan kedatangan pesaing dari Timur Tengah. Seperti Kuwait Finance House (KFH) salah satu Islamic Bank terbesar di Kuwait. Tidak hanya KFH saja yang berminat tetapi menurut Deputi Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI Mulya Siregar juga mengatakan ada dua investor Timur Tengah yaitu Albarkah dan Asian Finance Bank yang sangat tertarik untuk membeli bank lokal. "Mereka sudah datang ke kita dengan rencana mereka akan membeli bank lokal dan dikonversi ke syariah," ujar Mulya (www.detikfinance.com, 7 Desember 2009).
Dengan indikasi di atas persaingan industri perbankan pada tahun 2010 ini akan lebih semarak. Dari laporan BI Juni 2008 jumlah pangsa pasar bank asing juga meningkat apabila dibandingkan pada tahun 1999. Untuk pangsa pasar aset sebesar 50% meningkat dari 11% di tahun 1999 yang dimiliki asing dari total aset perbankan nasional sekitar 45% pangsa pasar kredit dari total 20% di tahun 1999, dan 40% pangsa pasar dana pihak ketiga meningkat dari 11% di tahun 1999.
Ada beberapa hal yang membuat bank asing tersebut berminat untuk berinvestasi di Indonesia. salah satu contributing factor yang significant adalah tingginya Net Interest Margin (NIM) perbankan di Indonesia. Kalau di negara mereka bank asing tersebut hanya bisa mendapatkan NIM maksimal sebesar 2-3%. Tetapi, di Indonesia industri perbankan nasional bisa meraih NIM dengan rata-rata sebesar 6%.
Sebut saja beberapa bank plat merah terbesar di tanah air. Untuk bulan September 2009 Bank Rakyat Indonesia (BRI) sudah berhasil meraup NIM sebesar 9,1%, Bank Nasional Indonesia (BNI) 6,1%, dan Bank Mandiri (BMRI) 5,2%. Dan, beberapa bank-bank yang termasuk dalam bank 10 besar di Indonesia seperti Danamon 8,2%, Bank Central Asia (BCA) dengan NIM 6,6%, CIMB Niaga 6,6%, Citibank 6,6%, BII Maybank 5,8%, Permata 5,5%, dan Panin dengan perolehan NIM sebesar 4,7% (Laporan Keuangan Publikasi Bank dan Bank Indonesia, diolah).
Masuknya bank-bank asing ke Indonesia haruslah ditanggapi dengan serius oleh pihak regulator dalam hal ini Bank Indonesia dan juga industri perbankan nasional. Tentunya bank-bank asing tersebut sudah dapat dipastikan membawa sistem dan business strategy yang terbaik yang telah mereka implementasikan sekian lama di negara mereka. Oleh karena itu bank-bank nasional khususnya bank-bank pemerintah harus bisa bersaing lebih kompetitif lagi to win the competition in the industry.
Akan sangat tragis apabila 10 tahun mendatang kita melihat bahwa bank terbesar di negeri kita sendiri dimiliki oleh asing. Dengan demikian ada beberapa critcal notes yang penulis ingin sampaikan untuk memperkuat posisi perbankan nasional kita ke depan.
Pertama, Pemerintah dan BI harus secara progressive mengeluarkan regulasi yang supportive terhadap Bank-bank nasional agar bisa bersaing secara kompetitif dengan bank-bank asing. Hal ini telah di perhatikan oleh BI di mana salah satu regulasi dari BI adalah akan mewajibkan cabang bank asing yang beroperasi di Indonesia berubah menjadi badan hukum perseroan terbatas (PT) untuk memudahkan pengawasan dan pengaturan. Dengan demikian bank asing akan tunduk dengan ketentuan hukum perusahaan di Indonesia.
Langkah ini menjadi concern BI karena keberadaan bank asing yang beroperasi di tanah air kian banyak dan cukup kompleks. Di samping itu, pemerintah dan BI juga harus memperhatikan perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia agar regulasi mengenai tax insentif untuk perbankan syariah harus segera digodok agar mampu mendorong industri perbankan syariah meningkatkan kinerjanya.
Kedua, Perbankan Nasional khususnya bank plat merah harus mampu memberikan servis yang berkualitas kepada masyarakat. Kalau dulu bank-bank pemerintah terkenal dengan servisnya yang lambat, bertele-tele, tetapi sekarang penulis bangga. Perbankan nasional sudah mulai mereformasi kualitas servis yang diberikan kepada nasabah.
Kualitas servis yang baik sangat penting untuk meningkatkan kepuasan dan juga loyalitas customer. Hal ini sudah dicapai oleh Bank Mandiri dengan meraih "The Best Bank Service Excellence Award" pada tahun 2007 dan 2008.
Prestasi Bank Mandiri ini agar bisa dipertahankan ke depan dan menjadi lokomotif penggerak serta dapat memotivasi bank nasional lainnya untuk memberikan kualitas servis yang terbaik kepada nasabahnya. Apabila servis yang diberikan mengecewakan bank-bank nasional harus bersiap-siap nasabah mereka direbut oleh bank-bank asing lainnya yang sudah memiliki senjata pamungkas untuk menaikkan pangsa pasar mereka di Indonesia.
Ketiga, bank-bank nasional yang sudah listed di pasar saham harus meningkatkan kinerja keuangannya agar dapat meningkatkan nilai Kapitalisasi pasarnya (Maket
Capitalization). Semakin besar nilai Market Capitalization suatu perusahaan terbuka hal ini mununjukkan indikasi yang baik. Sebab, selain kinerja keuangan dan reputasi perusahaan tersebut di nilai outstanding market capitalization yang tinggi dapat menyulitkan pihak lain untuk membeli perusahaan tersebut.
Oleh karena itu bank-bank nasional harus mampu meningkatkan market capitalization mereka agar tidak mudah untuk dibeli asing karena dengan tingginya marke capitalization bank tersebut. Maka Price to book value (PBV) akan tinggi pula dengan kata lain lebih tinggi nilai market capitalization suatu bank. Lebih mahal harga bank tersebut untuk diakusisi atau di beli.
Dengan beberapa prestasi bank nasional yang membanggakan ini baik BUMN dan swasta seperti Bank Mandiri dan BCA yang market capitalization mereka sudah mencapai USD 10 miliar di tahun 2009 dan yang cukup membanggakan kedua bank nasional tersebut masuk ke dalam top bank kategori bank dengan market capitalization di atas USD 10 milliar sebagai Large Regional Players di Asia bersama dengan Hang Seng Bank (Hong Kong), KB Financial Group (Korsel), DBS bank, UOB Bank, dan OCBC bank yang ketiganya dimiliki oleh Singapura dan Maybank Malaysia (Sumber: Bloomberg).
Walaupun banyak dan kompleksnya pemain asing yang masuk dalam persaingan industri perbankan nasional dengan adanya regulasi yang supportive dari pemerintah dan BI perbankan nasional kita masih tetap bisa exist dan menunjukkan taringnya selama memberikan pelayanan yang berkualitas kepada nasabah. Selain itu tindakan kejahatan perusahaan harus dihapuskan dalam manajemen perbankan nasional. Seperti praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dan, hal yang perlu diperhatikan juga ialah untuk strategi ke depan. Bank-bank nasional tidak hanya harus fokus kepada peningkatan Net Interest Income saja. Tetapi, juga harus meningkatkan portfolio Fee Based Income-nya dan juga harus berani berinvestasi dan menyalurkan pembiayaan di high return businessess seperti salah satunya ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Dengan demikian perbankan nasional dapat berperan dan berkontribusi meningkatkan perekonomian Indonesia khususnya sektor riil dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat banyak yang sesuai dengan inti dan tujuan dari UU perbankan No 7 tahun 1992/ No 10 tahun 1998. Wallahualam bissawab.
Para pengusaha UKM di daerah, rasanya, patut berterima kasih kepada sejumlah bank asing. Tatkala para bankir lokal lebih memilih mengucurkan kreditnya ke sektor infrastruktur dan korporasi, apa yang dilakukan bank-bank asing justru sebaliknya. Tahun ini, mereka ramai-ramai mengucurkan duitnya kepada para pelaku usaha kelas menengah bawah tersebut. Salah satunya, seperti yang dilakukan ma-najemen Citibank baru-baru ini, dengan membuka Citifinancial Loan Center (CLC) di beberapa kota besar, yakni Jabotabek, Medan, Semarang, Surabaya, Bandung, dan Denpasar.
Hanya saja, jangan lantas membayangkan bank asal Negeri Paman Sam ini mendirikan kantor cabang baru yang megah. CLC ala Citibank ini hanya berupa kios yang menempel di 10 kantor pos yang ada di sejumlah kota tersebut. Menurut Armand Furhad, Citifinancial Business Head Citibank, tak kurang dana sebesar Rp 900 juta telah disiapkan banknya untuk mengembangkan jaringan program CLC ini. ”Satu gerai diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp 90 juta,” paparnya.
Super irit, memang. Sebagai langkah awal, ekspansi ini baru bisa dinikmati di Kantor Pos Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Namun, begitu mendapat lampu hijau dari Bank Indonesia, kantor pos di enam kota sisanya akan langsung beroperasi. ”Semoga saja Juli besok sudah bisa mendapat konfirmasi dari Bank Indonesia,” kata Armand. Agar produk kreditnya bisa terserap dengan cepat, suku bunga yang ditawarkan Citibank pada jaringan pemasaran anyarnya ini cukup menggiurkan, yakni berkisar 1,2% hingga 2,6% per bulan. Jauh lebih rendah ketimbang suku bunga kartu kredit perbankan pada umumnya.
Tak cuma itu, untuk saat ini, nasabah bisa meminjam kredit berapa pun yang dibutuhkannya. Sebab, CLC tidak mengenakan batasan plafon tertentu kepada nasabah. Tapi, tentu saja, sikap kehati-hatian tetap dijunjung tinggi oleh manajemen Citibank. Itu sebabnya, tidak semua calon debitor bisa meminjam duit dari CLC. ”Kredit ini hanya akan dikucurkan kepada pemegang kartu kredit Citibank dengan track record yang bagus,” katanya.
Ekspansi yang dilakukan Citibank, sejatinya, menunjukkan betapa bank asing kini sangat agresif dalam memasarkan kreditnya ke daerah. Berdasarkan data Bank Indonesia, pada kuartal pertama kemarin, 11 bank asing yang beroperasi di Indonesia sudah memiliki kantor cabang sebanyak 125 kantor. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, jumlahnya baru 72 cabang saja. Artinya, dalam tempo setahun, terjadi penambahan cabang baru sebanyak 53 kantor atau tumbuh sebesar 73,61%.
Benar-benar pertumbuhan yang luar biasa. Bahkan, pertumbuhan cabang sebesar itu jauh melebihi penambahan cabang milik bank lokal non devisa. Sebagai perbandingan, pada Maret tahun lalu, jumlah kantor cabang yang dimiliki 37 bank swasta lokal non devisa baru mencapai 719 kantor. Setahun kemudian, angka itu hanya naik menjadi 767 kantor. Itu berarti, hanya ada penambahan kantor cabang baru sebanyak 48 kantor. Pengembangan jaringan yang cukup ekspansif itu pula, tampaknya, yang memicu tingkat kucuran kredit berbanding simpanan (LDR) di bank asing jauh lebih tinggi ketimbang bank lokal.
Berdasarkan data statistik BI, bank asing telah menyalurkan kredit sebesar Rp 74,14 triliun hingga Maret 2007, sedangkan pengumpulan DPK pada periode yang sama mencapai Rp 92 triliun. Ini berarti mereka mencatat rasio LDR sebesar 80,58% atau di atas tingkat rata-rata perbankan nasional yang baru sebesar 61,97%.
Salah satu bank asing yang getol-getolnya mengucurkan kredit ke sektor UKM di daerah adalah Standard Chartered Bank (SCB). Simon Morris, CEO SCB menegaskan, untuk memperbesar pangsa pasar kreditnya, SCB kini menyasar kalangan pengusaha dari kelompok UKM, yang telah berbisnis minimal selama tiga tahun dan memiliki omzet berkisar Rp 900 juta hingga Rp 150 miliar per tahun. ”Besar kecilnya kredit tergantung pada peran pemerintah dalam menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi pemberi kredit,” ujar Simon.
Tapi, berbeda dengan Citibank, pemasaran kredit SCB dilakukan melalui jaringan kantor cabangnya yang kini berjumlah 14 cabang dan tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Denpasar, dan Solo. Menurut Irawati Koswara-Simms, Head of Corporate Affairs SCB, belasan kantor cabangnya tersebut, akan memasarkan produk kredit tanpa agunan kepada sektor UKM di sejumlah kota besar tadi. ”Untuk produk KTA konsumtif suku bunganya sebesar 1,59% per bulan. Sementara suku bunga KTA untuk UKM dimulai dari 1,47% per bulan,” tuturnya.
Bank Indonesia, selaku pengawas industri perbankan nasional, tampaknya tak merisaukan agresivitas bank asing dalam me-ngembangkan jaringannya. Soalnya, kata Rusli Simanjuntak, Direktur Direktorat Supervisi Bank 2 Bank Indonesia, langkah ekspansif tersebut turut memberikan kontribusi kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal senada juga diungkap Pande Radja Silalahi, Ekonom CSIS. Menurut Pande, selama bank asing tunduk pada aturan yang dibuat BI, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. ”Dengan berlakunya aturan main pasar bebas, sudah bukan saatnya lagi bank lokal minta perlindungan BI untuk membatasi ekspansi bank asing,” tuturnya.
Memang, masuknya bank asing ke sejumlah daerah, akan membuat persaingan antarbank semakin ketat. Tapi, dalam hal ini yang diuntungkan adalah para pengusaha UKM. ”Bagi pengusaha kecil, kemudahan memperoleh akses kredit jauh lebih penting ketimbang persaingan antara bank asing dengan lokal,” tegasnya. Toh selama ini, menurut pengamatan Pande, keberadaan bank asing tersebut belum pernah mematikan bisnis bank lokal.
Sumber :
Andy Rio Wijaya, MBA, (Pengamat & Praktisi Perbankan Nasional)
Alumni Management Centre of International Islamic University Malaysia (IIUM)
Former Member of Islamic Economics Forum for Indonesian Development (ISEFID).
Arfi Saputra Wijaya,
Mahasiswa S1 Jurusan Manajemen Universitas Bina Nusantara (UBINUS)
Alumni Management Centre of International Islamic University Malaysia (IIUM)
Former Member of Islamic Economics Forum for Indonesian Development (ISEFID).
Arfi Saputra Wijaya,
Mahasiswa S1 Jurusan Manajemen Universitas Bina Nusantara (UBINUS)
Febry Mahimza,
Windarto,
Mega Julianti Sumantri,
dan Syarif Hidayat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar